Monday, February 27, 2006

INSPIRING STORY


Cerita yang menggetarkan jiwaku....karenanya mengingatkan aku akan nenekku terkasih.... Begitu banyak peristiwa yang hampir serupa yang kami sekeluarga alami bersama Ema (panggilan bagi nenek kami). Hari ini...peringatan hari ke-100 berpulangnya Ema kepada DIA. Aku mau mengenangnya dengan membagi cerita ini:


Kisah ini diambil dari A Chicken Soup for Women's Soul
"Menghemat Uang"

Diceritakan oleh Carita Barlow berdasarkan kisah Carlo Mc Adoo Rehme.

Orang-orang yang bisa mencintai secara mendalam, tidak akan pernah tua; mungkin mereka akan meninggal dalam usia tua, tapi jiwa mereka tetap muda.
~Benjamin Franklin

Ibuku suka berkata, “Kau anak yang mahal!” Dan itu memang benar. Ketika kedua kakakku sudah dewasa dan pergi dari rumah, orangtuaku mendapati ada bayi lain yang akan menyusul datang. Pada usia empat puluh tiga tahun, di sebuah rumah sakit kota kecil pada tahun 1937, ibuku melahirkan aku. Total biayanya sampai empat puluh tujuh dolar waktu itu. Bisa dibayangkan? Empat puluh tujuh dolar. Sangat mahal.

Kami bukan orang kaya, tapi Ibu selalu rajin dan kreatif. “Tidak boros, tidak akan kekurangan." Itulah mottonya. Kalau malam sering kali aku tertidur diiringi suara desir mesin jahit manualnya. Bahan-bahan katun yang kaku dan bahan-bahan wol yang liat dan berbulu di bawah rajutan jarumnya, Ibu menjahit sampai malam, meniru model-model pakaian masa kini, supaya aku tidak ketinggalan zaman.

Ibu juga berhasil mengumpulkan cukup uang untuk membayar les musik bagiku. Rumah kami dipenuhi suara-suaranya-suara jemariku yang menari-nari di atas tuts piano, gesekan biolaku yang melengking seperti suara kucing yang ekornya terjepit kursi goyang.
Kami juga suka menyanyi bersama-sama, lagu-lagu “By the Light of the Silvery Moon,” atau “In the Good Old Summertime.” Kadang-kadang kami seperti The Andrew Sisters, menyanyikan “The White Cliffs of Dover” dan “Till We Meet Again.” Oh, dan kami senang sekali membawakan lagu-lagu hit seperti “Happy Days Are Here Again” dan “ Tea for Two.”

Ibu mengajariku untuk bicara jujur. Ia juga mengajariku cara mengganti persneling dengan mulus saat naik mobil Packard kelabu kami yang keluaran tahun 1937, yang kami namai Eunice. Dan ia mengajariku nilai-nilai bekerja untuk mendapatkan apa-apa yang kuinginkan

Ibu sama akrabnya dengan teman-temanku, seperti dengan diriku sendiri. Setiap kali masuk dapur, kami disabut oleh aroma kue yang menerbitkan selera, donat kentang yang panas, kue pai berry yang lezat, atau roti empuk buatan sendiri. Aroma itu sangat mengundang dan menyiratkan kenyamanan. Memberi kesan “rumah.”

Selama bertahun-tahun kuliahku pada masa 1950-an, aku dan Ibu meneruskan hubungan kami yang erat melalui surat-menyurat, berbagi pikiran, pendapat, dan pengalaman. Untuk menghemat biaya pos, kami mengembangkan cara unik, yaitu dengan memasukkan sebanyak mungkin kata-kata di lembaran kartupos murah yang paling kecil. Tak ada sedikitpun ruang yang terbuang. Bagaimanapun, “dengan berhemat, uang selamat.”

Kelima anakku lahir saat ibuku berusia tujuh puluhan, dan ia mengunjungi kami sesering mungkin. Pada usia delapan puluh delapan, Ibu tinggal bersama keluarga kami sepenuhnya.
Dengan senang hati kami menyediakan tempat di rumah kami untuknya. Ia senang sekali pergi ke mana-mana bersamaku, mendorong kereta belanja, pergi makan siang di tempat kesukaannya McDonald. Saat bermobil, ia akan berkata, “ Satu menghemat uang, dua melihat pertunjukkan, tiga bersiap-siap, empat berangkat.”

Tahun-tahun itu merupakan tahun-tahun bahagia kami. Kalau si Matthew kecil ingin minta perhatian, ia tahu dimana bisa mendapatkannya. Ia meringkuk di samping tubuh neneknya yang empuk dan beraroma lilak. Nenek selalu enak untuk dipeluk. Nenek akan membelai rambutnya sambil membacakan buku kesukaannya berulang-ulang, tanpa mengatakan “Sudah cukup!” atau melewatkan baris-baris tertentu. Nenek tidak pernah tergesa-gesa.

Pada kedua anak perempuan kembarku, Nenek merupakan teman sejiwa. Mereka bisa memamerkan pakaian mereka, teman-teman mereka, dan pasangan kencan mereka pada Nenek, dan Nenek selalu memberikan perhatian sepenuhnya pada merekea.

Kedua anak lelakiku yang masih remaja juga suka menyuarakan keluhan mereka padanya. Nenek tahu kapan mesti menggoda, kapan mesti bersimpati dan kapan mesti mendengarkan. Dan Nenek selalu punya waktu untuk mendengarkan.

Tapi dengan berlalunya tahun demi tahu, kesehatan Ibu mulai menurun. Mula-mula ia mesti memakai tongkat, lalu kursi roda. Berikutnya ita tidak bisa lagi turun-naik tangga. Sedih rasanya melihat ia mulai dimakan usia. Tapi dengan bijak ia berkata, “Kesehatan yang buruk ini sama dengan keping uang yang jelek; cepat atau lambat akan kelihatan juga.” Sekarang giliranku untuk merawatnya.

Aku membawakan makanannya ke atas, duduk menemaninya di kamar tidurku yang besar, nonton televisi, menyetrika, memperbaiki pakaian, membereskan kertas kerjaku-menemaninya sementara ia menjahit. Kami mengobrol, mengenang masa lalu, menyanyikan lagu-lagu lama kesayangan kami, tak peduli bahwa nada kami masih tetap sumbang. Aku memberli benang dan ia merajutnya. Tapi suatu hari ia meletakkan jarum rajutnya dan tidak pernah memakainya lagi,

Ibu semakin lemah, begitu pula penglihatannya. Sekarang Matthew yang sudah lebih besar suka naik ke ruang atas, duduk di samping neneknya di tempat tidur dan ganti membacakan buku untuknya. Tidak ada kata-kata yang terlewatkan olehnya.

Saat memiijat tubuhnya yang lemah dengan lotion atau membedaki kulitnya yang halus, kukecup punggungnya yang lembut. “Ibu tahu, punggung Ibu tidak seperti punggung orang yang sudah sembilan puluh lima tahun,” godaku.

Sementara kondisinya semakin buruk, tugas-tugas baru menantiku. Pertama -tama, memandikan dan mengurus keperluannya di kamar mandi, lalu memakaikan pakaian, dan akhirnya menghaluskan makanan dan menyuapinya…juga memakaikan popok untuknya. Kami bertukar peran. Sekarang aku merasa akulah yang menjadi ibu baginya, dan ia menjadi anakku, dan kami sama-sama bertahan hingga akhirnya.

Enam bulan sebelum ulang tahunnya yang kesembilan puluh delapan, Ibu berpulang dalam damai di tempat tidurnya yang kecil, di kamarnya sendiri…di rumahku. Di dapur, di bawah, aroma roti buatan sendiri merebak, memenuhi udara dengan keharuman menyegarkan, keharuman “rumah”.

Sebagai satu baktiku yang terakhir, aku mendandani ibuku yang manis dan sudah tua itu-kali ini untuk dimakamkan. Dan sekali lagi aku merasa peran kami kembali bertukar. Sekali lagi aku menjadi seorang anak, yang berduka karena kehilangan ibunya.

Kebanyakan orang tidak mempunyai Ibu yang hidup hingga sembilan puluh tujuh tahun. Aku sungguh beruntung bisa memilikinya, merawatnya, bahkan mungkin membalas jasanya sedikit atas segala pengorbanannya yang besar semasa aku kecil. Saat memandangi kartu pos-kartu pos murah yang kusimpan selama bertahun-tahun itu, aku hanya bisa berpikir: betapa mahalnya semua ini!

0 comments:

 

Copyright © 2008 Green Scrapbook Diary Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez